Rabu, 24 November 2010

Virus Liberal di Jantung Ormas Islam


Pasca runtuhnya menara kembar WTC, 11 September 2001, Amerika Serikat mengubah total kebijakannya terhadap Dunia Islam. Seperti ditulis di Washington Post (25/10/2009), sebelumnya AS tak begitu tertarik untuk memberi dukungan pada kelompok/organisasi massa Islam, termasuk individu-individunya. Namun setelah itu, AS justru mendukung penuh kelompok/ormas Islam serta individu Muslim dalam rangka ‘mencetak’ Muslim moderat.

Apa yang dilakukan AS pada awal dekade 2000-an terhadap Islam di Indonesia, menurut Washinton Post, meniru strategi Perang Dingin mereka terhadap Komunisme dan Uni Sovyet. Kala itu AS ‘jor-joran’ menyokong program pendidikan dan budaya anti-Komunisme.

Modus tersebut sudah dilakukan The Asia Foundation di Indonesia. Melalui yayasan yang disokong resmi oleh Pemerintah AS—tetapi lewat saluran dana rahasia—The Asia Foundation bekerjasama dengan USAID, Amerika membiayai program ‘Islam and Civil Society’ di Indonesia. ‘’Kami ingin menantang pemikiran Islam garis keras,’’ kata Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda yang mendirikan Jaringan Islam Liberal di 2001.

The Asia Foundationlah yang menyediakan dana bagi Ulil untuk mendirikan JIL. Lewat dana itu, JIL bisa siaran mingguan di salah satu radio swasta. Tema siaran tentu saja mengkritisi interpretasi literal yang biasa dilakukan Islam garis keras. JIL juga sempat membuat program televisi yang memperlihatkan Islam warna-warni di Indonesia. Tak lupa, mereka menyebarkan selebaran Islam liberal di sejumlah masjid.

Pemerintah AS benar-benar kepincut ‘model moderat’ Ulil. Ia diterbangkan ke Washington pada 2002. Di ibukota negara ini, Ulil bertemu dengan barisan pejabat penting, mulai dari Depdagri AS hingga Pentagon. Ia berdialog dengan Paul D Wolfowitz, saat itu Wakil Menteri Pertahanan AS dan mantan Duta Besar AS di Indonesia.

Namun, pendekatan kultural ala Perang Dingin ini gagal total. Justru gara-gara JIL muncul, lebih banyak lagi umat Muslim konservatif yang membenci AS. Mereka menilai AS bermain di air keruh, mencoba mengoyak-ngoyak akidah Islam.

Kondisi ini kian runyam setelah serangan Amerika ke Irak. ‘’Perang Irak ‘menghancurkan semuanya’,’’ kata Ulil. Reaksi keras terus bertebaran. Majelis Ulama Indonesia malah menolak paham JIL. MUI mengeluarkan fatwa untuk menolak sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Buntutnya kembali ke uang. The Asia Foundation tak lagi mengucurkan dana bagi JIL. Mereka mengubah strateginya. Masih tetap menyediakan dana bagi organisasi Islam lokal, tetapi menghindari isu keagamaan yang sensitif.

Dana akan mengucur bila ada proposal seperti pelatihan pengawasan anggaran, pemberantasan korupsi hingga penanganan kemiskinan. ‘’Yayasan menilai perdebatan pemikiran Islam di Indonesia akan lebih maju tanpa keterlibatan organisasi internasional,’’ kata Kepala Kantor The Asia Foundation Jakarta, Robin Bush.

Menurut Washington Post, Pemerintah AS selalu memerhatikan arah angin Islam di Indonesia. Dalam pandangan Amerika, Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Jumlah penganut Islam di Nusantara lebih banyak dari jumlah seluruh penduduk negara Teluk Persia.

‘’Ini adalah pertarungan ide. Pertarungan masa depan Indonesia,’’ kata Kepala USAID Jakarta, Walter North. Pertarungan ini mencuatkan pertanyaan penting: Cukupkah AS hanya mengamati perkembangan Islam di Indonesia, atau terjun langsung dan mempromosikan Muslim sesuai dengan keinginan AS.

Secara garis besar, menurut Washington Post, perkembangan di Indonesia sesuai dengan arah yang diinginkan AS. Ini terlihat dari sejumlah gejala. Misalnya, terorisme yang melibatkan Islam. Ketika salah satu tersangka peledakan bom Ritz Carlton, Juli 2009, ditembak mati oleh Detasemen Khusus 88 (yang dilatih oleh AS), warga desa tempat korban dilahirkan menolak jenazah dimakamkan di desa itu.

Lantas protes keras Front Pembela Islam (FPI) terhadap kedatangan bintang porno asal Jepang, Maria Ozawa. Menurut AS, FPI tidak lagi ambil pendekatan kekerasan dengan menghancurkan bar, klub malam, atau hotel, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.

Derajat kebencian publik Indonesia ke AS terkait Perang Irak pun diklaim turun. Salah satu faktor pendukungnya adalah hengkangnya George W Bush dan naiknya Barack Obama. Pada 2003, tahun pertama Perang Irak, 15 persen orang Indonesia yang disurvei oleh Pew Research Center mendukung AS. Bandingkan dengan 75 persen dukungan sebelum Bush menjabat. Posisi dukungan sekarang, setelah Obama memerintah, ada di level 63 persen.

Menurut Washington Post, sejumlah faktor penting ikut andil memengaruhi perbaikan citra AS ini. Pertama: ekonomi Indonesia yang relatif baik di tengah krisis keuangan. Kedua: suksesnya Pemilu yang bebas dan adil. Ketiga: kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono, jenderal lulusan AS, yang merangkul partai Islam dalam koalisinya.

Menurut Masdar Mas’udi, ulama senior di Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, faktor lain adalah kebijakan AS yang tidak lagi mencampuri urusan agama di Indonesia. ’’Intervensi AS terhadap urusan agama di Indonesia justru memicu lawan tanding, bahkan memperkuat mereka. Makanya, ada perubahan dalam kebijakan AS. Sekarang mereka menyasar ke pengentasan kemiskinan, terutama petani Muslim,’’ katanya.

Kepala USAID di Indonesia, Walter North, menambahkan, sekarang bukan lagi saatnya ikut campur masalah agama. ‘’Kita terjun untuk langsung memecahkan masalah riil di Indonesia, yaitu kemiskinan dan memberantas korupsi. Mencoba melahirkan generasi pemimpin Muslim seperti yang diinginkan AS tidak laku lagi,’’ katanya.

Kooptasi

Meski mengubah strateginya, Amerika tak akan pernah meninggalkan basis Muslim di Indonesia. Tangan-tangan AS tetap bekerja-sama dengan mereka yang dianggap mampu menjadi corong Amerika dalam menyebarkan paham liberalismenya. Bagaimanapun tidak ada bantuan yang betul-betul ikhlas dan gratis. ‘Tidak ada makan siang yang gratis’, begitu pepatah Barat.

Boleh jadi JIL sudah tidak didukung lagi, tetapi Amerika menggunakan pengaruhnya melalui lembaga/organisasi dan individu yang berafiliasi langsung atau tidak langsung pada ormas-ormas Islam besar di Indonesia. Sebut saja di jajaran Nahdlatul Ulama ada Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU, Wahid Institute, juga Fatayat NU.

Lakpesdam NU selama ini dikenal cukup liberal. Ini bisa dilihat dari buku dan publikasinya yang sarat dengan virus sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Di jajaran Muhammadiyah ada Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), dan Ma’arif Institute. Selama ini organisasi tersebut dikenal begitu gencar menyebarkan paham-paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. JIMM sama dan sebangun dengan JIL.

Selain organisasi/lembaga, Amerika telah mengader individu-individu yang mengemban pandangan Barat. Mereka ini diposisikan seolah-olah bagian yang tak terpisahkan dari induk organisasinya. Mendiang Abdurrahman Wahid, misalnya, ia dianggap sebagai salah satu representasi kaum Nahdliyin, kendati ia sudah tidak duduk lagi sebagai Ketua Umum PBNU. Hal yang sama dilakukan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif. Yang menyamakan keduanya, mereka dikenal sangat liberal dan anti terhadap syariah Islam.

Dukungan Amerika terhadap mereka diwujudkan dalam bentuk dana maupun pujian. Keduanya kerap mendapatkan penghargaan, yang tentu disertai hadiah uang; termasuk di dalamnya memberikan tempat yang lebih di media-media yang berafiliasi kepada Amerika.

Dukungan pun disalurkan melalui lembaga yang dibentuknya. Abdurrahman Wahid mendirikan Wahid Insitute, sedangkan Syafi’i Ma’arif membangun Ma’arif Intitute. Seperti LSM pada umumnya, lembaga ini bisa bergerak ke mana saja sesuai dengan pesanan.

Yang tidak bisa dilupakan, sejauh ini sudah banyak cendekiawan-cendekiawan dari ormas-ormas Islam yang membawa pemikiran-pemikiran Barat. Posisi mereka memang lebih menonjol kecendekiawanannya dibandingkan sebagai aktivis. Namun, pemikiran-pemikiran mereka tak kalah berbahayanya.

Menentang Pendahulu

Bila menyimak sejarah perjuangan dua organisasi massa Islam terbesar NU dan Muhammdiyah, apa yang disuarakan oleh generasi penerus ini jauh sangat berbeda, malah bisa dikatakan bertentangan. KH Ahmad Dahlan, dalam buku Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah (2000: 3) menilai keterbela-kangan umat Islam dalam segala bidang itu disebabkan karena Islam tidak dikembalikan secara langsung pada sumbernya yang murni, yakni al-Quran dan as-Sunnah dan dipahami dengan menggunakan akal pikiran yang sehat melalui ijtihad, untuk kemudian ditransformasikan ke dalam realitas kehidupan para pemeluknya.

Karena itu, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak penjuangan Rasulullah saw. dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya ‘Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita (Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, 1990).

Muhammadiyah sejak berdiri telah menentukan jatidirinya sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah yang dilakukan untuk menyuruh kemakrufan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah dari yang munkar (al-nahyu ‘an al-munkar) (QS al- Imran [1]: 104).

Muhammadiyah mengajak dan memelopori umat Islam untuk berpikir dinamis dan kreatif dalam memahami dan mengaktualisasikan Islam di tengah kehidupan modern, tanpa terlepas dari acuan dasar Al-Quran dan as-Sunnah. Menurut pandangan KH Ahmad Dahlan, beragama itu adalah beramal; artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Quran dan Sunnah. Orang yang beragama ialah orang yang menghadapkan jiwanya dan hidupnya hanya kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti; rela berkorban baik harta benda miliknya dan dirinya, serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah (Ibid,1990: 8).

Tak jauh berbeda dengan Muhammadiyah, NU pun adalah gerakan yang ingin menerapkan Islam sesuai dengan pandangan Ahlu Sunnah wal Jamaah. KH Hasjim Asy’ari, pendiri NU, dikenal sebagai tokoh yang ingin berusaha menyatukan kembali umat Islam.

NU didirikan sebagai respon atas runtuhnya Khilafah Islam 1924. Lahirnya NU merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah.

Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran.

Demikian pula dengan generasi pendiri NU berikutnya, yakni KH Wachid Hasjim. Seperti dikemukakan BJ Boland, pendeta Kristen asal Belanda dan doktor alumnus Universitas Leiden, dalam bukunya, Pergumulan Islam di Indonesia (1985), KH A Wachid Hasyim adalah sosok ’paling radikal’ pendukung Piagam Jakarta.

“Wahid Hasjim dapat dipandang sebagai paling radikal hingga tidak diikutkan dalam kelompok kerja untuk menyiapkan Rancangan UUD bentukan Soekarno yang akan rapat 12 Juli 1945… Wahid Hasjim memang memanfaatkan rancangan Pembukaan tersebut sebagai suatu titik tolak untuk pengaturan lebih lanjut menuju suatu Negara Islam. Ia menyarankan agar diadakan suatu ketentuan, bahwa hanya orang Islam yang boleh dipilih menjadi presiden atau wakil presiden Republik, dan bahwa pasal mengenai agama harus berbunyi: ‘Agama negara adalah Islam, dengan jaminan kemerdekaan bagi penganut agama lainnya untuk menganut agama mereka’…”

Boland juga mengutip pernyataan Wahid Hasjim, “Tentang Islam sebagai agama negara, hal ini akan penting artinya bagi pertahanan negara. Umumnya, pertahanan yang didasarkan pada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam, orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama”.

Soal hubungan antara agama dan negara, sikap KH A Wahid Hasjim amat tegas. Misalnya saat menanggapi pidato Presiden Soekarno di Amuntai, Kalimantan Selatan (1953), yang menyatakan jika Indonesia berdasarkan Islam maka banyak daerah yang penduduknya non-Muslim akan melepaskan diri. Saat itu, sebagai Ketua PBNU, Wahid Hasjim bersurat kepada Presiden yang isinya antara lain: “.. pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam, adalah pernyataan mungkar yang tidak dapat dibenarkan syariat Islam dan wajib bagi tiap-tiap Muslim menyatakan ingkar atau tidak setujunya” (Isa Anshari 1997: 69).

Walhasil, secara umum paham-paham yang disebarkan oleh kaum liberal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan juga prinsip-prinsip pemahaman para pendahulu mereka. Andai para pendahulu mereka masih hidup, mungkin mereka akan menangis bila melihat sepak terjang generasi penerusnya yang justru menyebarkan pemikiran Barat—pemikiran yang ditentang oleh Islam.[Humaidi]

insert fokus: Pemikiran Menyesatkan itu

Ulil Abshar Abdala: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama berabad-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar gereja. Baru pada 1965 Masehi, gereja Katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam, yang berusia 1423 tahun dari hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik.” (Gatra, 21 Desember 2002).

M Luthfi Asyaukani: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan)…..Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan intrik (tipudaya) dan rekayasa.” (Merenungkan Sejarah Al Qur’an dalam Ijtihad Islam Liberal, 2005).

Sumanto Al Qurtuby: “Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan al-Quran dalam batas tertentu adalah ‘perangkap’ yang dipasang bangsa Quraiys (a trap of Quraisy).” (Buku Lubang Hitam Agama).

Pemikiran liberal yang umum disebarkan antara lain:

• Semua agama benar.

• Tidak ada kebenaran mutlak (Kebenaran adalah relatif).

• Syariah Islam tidak layak diterapkan.

• Al-Quran adalah hasil budaya Arab.

• Ajaran Islam menindas perempuan.

• Boleh menikah beda agama.

• Boleh menikah sesama jenis.

• Pemisahan agama dari negara

• Kebebasan beragama secara mutlak.

• Islam harus disesuaikan dengan zaman.

• Dll.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar